Etika di Jalan Raya
Teman-teman, minta imajinasinya dong. Bayangkan suatu hari yang panas terik, ketika haus mendera dan pikiran masih terpaku dengan masalah-masalah yang belum selesai di kantor. Bersepeda motor pulang, menghibur diri dengan membayangkan kehangatan keluarga di rumah, di depan ada sebuah mobil bermesin diesel yang tak terawat. Pengen nyalip, tetapi tidak memungkinkan. Dan asap hitam itu mengebul ke arah muka ketika sang mobil menancap gasnya, tidak rela untuk disalip. Sekilas, dari kaca spionnya terlihat sang sopir tersenyum melirik. Satu – kosong.
Karena beberapa kali tidak berhasil untuk menyalip, maka saya putuskan untuk melambat saja, dan biarkan sang mobil menang. Eh, malah ada sebuah mobil lain yang menyalip saya. Kali ini mobil bensin, dan agaknya lebih terawat. Tak lama sang penumpang yang duduk di kursi belakang membuka jendela. Terlihat rahangnya yang sedang mengunyah sesuatu, dan tak lama ia membuang sampah ke jalan, lalu segera menutup kembali jendela mobilnya. Hei, kalau melihat ubannya ibu itu seharusnya sudah berumur lima puluhan. Kenapa bertingkah seperti itu? Dua – kosong.
Saya tidak respek, jadi saya geber kembali gas saya, menyalip mobil ini. Tak lama, perempatan dan lampu kuning menyala, ada yang mempercepat, ada yang memperlambat lajunya. Saya lagi males, yaudah saya pelan-pelan aja. Memanfaatkan lampu merah untuk beristirahat sejenak, saya sedikit menahan napas untuk sedikit menghindar dari gas-gas buangan itu. (Muncul sebuah pikiran jorok: kenapa orang segera menutup hidung jika mencium bau maaf kentut, tetapi jarang sekali yang menutup hidung ketika mencium bau asap kendaraan, kan sama-sama gas buangan)
Belum hijau, tetapi lampu di ruas jalan lain sudah merah, dan seorang pengendara sepeda motor segera melesat bak pembalap MotoGP yang segera diikuti oleh beberapa kendaraan di belakangnya. Bukankah itu berbahaya? Saya berani taruhan pengendara motor itu mengerti sekali. Dua – Satu.
Sudah hijau, klakson menderu. Saya jalan. Singkat cerita satu kilometer dekat rumah, ketemu lagi hal yang menjengkelkan. Seorang penumpang sebuah mobil menjulurkan tangannya, memegang rokok dan menjentik-jentikkannya. Menebarkan abu tak terlihat itu ke jalan. Haihh… kalo ga ada asbak di mobil jangan merokok, Pak.
Sudahlah, gak mau ngitung skor lagi. Etika di jalan tidak untuk dihitung skornya!
kesel ya bro, sabar ya.. mau gimana lagi, mungkin kita yang harus memberi contoh dan berharap orang lain akan mengikuti.
**teringat kacaunya lalu lintas di surabaya
kesel banget, jadi pengen kayak gitu juga, hehehehe, ga gitu sih…
ada lagi ye . . .
suatu hari seorang sopir meludah sembarangan dan mengenai motorku. . .untung motorku yg tertempel ludahnya kalo bagian badanku mungkin sudah kukejar dan kutendang mobil itu . . .