Desa dan Kota
Saya pernah berpikir, tidak ada bedanya antara Desa dengan Kota. Karena saya merasa hidup di kota dan di desa itu sama. Di desa saya menemukan kabut putih mengambang di pagi hari, bintang malam yang terlihat jelas, ayam-ayam piaraan, keramahan orang-orang desa. Kalau di kota saya menemukan kabut asap mengambang sepanjang hari, lampu malam yang berwarna-warni indah, kuda-kuda penarik delman, keramahan penjaga toko 24 jam. Menurut anda?
Nah, itu saat saya belum menikah. Lalu suatu ketika, istri yang saya boyong ke desa menitikkan air mata dan mengatakan rindu dengan suasana kota. Suasana jalan yang ia lewati setiap hari, Pizza Hut, Supermarket, orang-orang yang berjalan seolah sedang memiliki urusan yang mendesak, kendaraan yang lalu-lalang, depot makanan yang sering dikunjungi. Ah, saya pikir dia cuma kangen sama kedua orangtua, kakak, dan keponakannya.
Tetapi, beberapa waktu yang lalu, saya pikir saya perlu meninjau ulang pemikiran saya ini. Saya sedang dalam perjalanan pulang kampung dari Denpasar setelah mengikuti acara seminar. Ketika itu kira-kira jam 7 malam dan kehidupan malam kota mulai menyeruak. Saya mulai teringat suasana yang sama ketika saya dalam perjalanan berkunjung ke rumah pacar saya dulu (yang sekarang jadi istri). Menarik napas panjang dan menerima suasana ini ke dalam hati saya, menemukan keterharuan. Banyak kenangan yang tercetak disini, di jalan-jalan, di toko-toko, di wajah orang-orang, persimpangan jalan, traffic light. Apalagi ketika mengingat toko komputer yang menyewakan Software, Game, MP3 yang sering saya kunjungi. Saya jadi tersadar, apa ini perasaan yang tadi saya rasakan, perasaan yang membuat saya ragu untuk pulang kampung?
Ya, pulang dari acara seminar saya sempat tidur sebentar di kamar yang dulu saya tempati di Denpasar ini. Bangun dari tidur, musik Enya yang diselingi musik klasik dan Jason Mraz, mengiringi pikiran saya yang belum 100% on. Melihat berkeliling, mengenali lemari pakaian beserta isinya, rak buku beserta sejumlah buku yang belum selesai saya baca, kapur pemberantas semut yang tergores di lantai, dua buah penyerap kelembapan yang saya letakkan di belakang lemari. Ada keinginan untuk menginap semalam di kamar ini, lalu membandingkan keinginan itu dengan kerinduan pada anak saya. Akhirnya, keputusan untuk pulang kampung menang, tetapi tetap saja berat rasanya ketika saya mematikan MP3 player dan melangkah keluar kamar itu.
Hmmm, muaranya saya mulai mempertanyakan kembali perasaan saya, menyuruhnya untuk menjawab dengan jujur. Apakah saya merindukan suasana kota? Apakah saya memang lebih memilih untuk tinggal di desa ketimbang di kota? Bukankah di kota lebih banyak kesempatan? Lebih banyak hal yang bisa dilakukan? Lebih banyak hiburan? Lebih banyak pilihan?
Bagaimanapun, jika air mata saya ingin jatuh, saya biarkan, di perjalanan saja. Ketika sampai di kampung, di depan istri yang sedang menidurkan anaksaya, saya hanya tersenyum dan mengatakan, “Aku juga rindu kota”. Untuk kemudian ia jawab dengan mimik dan tanpa kata-kata.
Bedanya di kota ama di desa, kalo di desa kabutnya ga bikin kanker.. kalo di kota kabutnya mematikan.. ^^ Bersyukurlah orang2 yang hidup di desa..
ayo ye, sekarang tinggal di kota bangli . . .
hehehe tak peduli desa ato kota… yg penting dengan “siapa” nya.. hehehe
saya bandingkan kota tempat saya kuliah dulu (surabaya) dan kampung halaman (kerobokan) tempat tinggal saya sekarang… ah, jauh lebih enak tinggal di kampung halaman sendiri…. home sweet home…
Yang di Kota pengen tinggal di Desa, begitu juga sebaliknya. Klo aku yang tinggal di Kota karena tugas belajar ya mau ga mau harus dinikmatilah… dan biarkan “Pulang Kampung” menjadi ritual yg ditunggu2. Klo kmu mungkin kebalikannya ya Ya? 🙂