Curhat

Membaca sebuah buku seperti menjalin sebuah hubungan. Perlu komitmen dan rasa penghargaan. Dengan analogi ini, saya berarti sering bersikap kurang setia dan bahkan selingkuh. Saat melirik sebuah buku, membaca sinopsisnya, bercermin ke dalam diri tentang bagaimana buku tersebut akan memberikan manfaat kemudian membelinya, kemudian membacanya belum sampai habis, kemudian berpaling pada buku lainnya. Kebosanan, godaan buku lain yang sepertinya lebih asik. Dan siklus seperti itu berjalan terus menerus. Saat ini ada hampir 10 buku yang masih tertunda untuk diselesaikan. Betapa sering saya selingkuh. Termasuk menyelingkuhi buku Musashi-nya Eiji Yoshikawa. Niat saya untuk membacanya untuk kedua kalinya hanya mencapai sepertiga isi buku untuk kemudian terpalingkan oleh buku lain, The Power of Now yang ironisnya sampai sekarang pun masih belum selesai terbaca.

Sebenarnya Musashi begitu enak untuk dibaca, dari segi alur dan latar belakang waktu dan ideologi juga saya suka. Tokoh-tokohnya juga kontemplatif (mudah-mudahan saya menggunakan istilah ini dengan tepat). Dan jika diijinkan untuk memilih tokoh termenarik kedua (setelah Musashi sendiri tentunya) saya akan memilih Matahachi, sang sahabat. Tokoh yang menemani Musashi pada awal cerita, namun entah dimana pada akhir cerita. Sebuah tokoh yang mewakili hati yang lemah, hedonis dan pecundang. Tokoh yang membuat saya berpikir tentang masa lalu, sekarang maupun masa depan. Mempertanyakan diri saya, kegagalan-kegagalan saya, apakah saya seperti dia.

Enam hari yang lalu, saya bertemu seseorang. Siapa dan dimana, sebaiknya saya tidak sebutkan. Dia minta mengobrol dengan saya, saya iyakan. Dan kami duduk berhadapan, dia cerita dan saya mendengarkan. Pandangannya tidak diarahkan kepada saya, lebih kepada dirinya sendiri. Bicaranya kadang seperti tertahan dan terlihat ia memerlukan usaha keras untuk mendorong beban itu keluar dari kerongkongannya.

“Hari Sabtu kemaren, saya bertemu dengan orangtua saya. Sebenarnya sudah lama saya ingin bertemu dengan mereka, ingin ngobrol dengan ayah saya. Tetapi begitu bertemu, saya kehilangan keberanian untuk berbicara. Banyak yang ingin saya ceritakan, dan keinginan itu terus mengganggu saya, bolehkah saya mengganggu anda?”, Ia memulai.

Tokoh kita ini, sebut saja namanya Yon mengatakan ia memang minder sejak kecil. Ia sudah minum minuman beralkohol sejak SD kelas 6. Ia minder karena itu, merasa tidak pede ada di lingkungan teman-teman sebayanya, merasa tidak punya keberanian untuk bicara. Dan seperti lingkaran setan, untuk mengatasi keminderannya itu, ia minum minuman beralkohol. Pada saat minum, ia menemukan keberaniannya untuk bicara. Ia menemukan teman yang bisa ia bagi apa yang ada dalam pikirannya yang dangkal. Tentang warung minum di pinggir desa dan penjaganya yang bohai. Ia menyanyi dan tertawa dengan bebasnya.

Dan karena minuman pula ia lupa diri. Mengamuk, berbicara ngacuh membuatnya berkali-kali keluar-masuk rehabilitasi. Terakhir kali, ia menggoda seorang cewek penjaga toko, sengaja merayu, padahal pacar sang cewek ada disana. Ia dihajar oleh sang cowok yang dengan senang hati berbagi kegiatan ini dengan beberapa temannya. Katanya Ia datang ke rehabilitasi dengan muka biru-biru dan kepribadian yang kacau. Berbicara dengan nada arogan, sok kuasa, berteriak-teriak dengan kepercayaan diri yang over.

“Saya ingin menceritakan semua kepada bapak saya dengan jujur, tetapi saya takut itu akan membuat keluarga saya sedih dan akan membawa hal buruk bagi keluarga saya”, katanya terisak.

“Siapapun pernah berbuat kesalahan, saya juga, dan saya merasa bersyukur orang yang telah saya mintai maaf, mau memaafkan saya, kamu pun bisa lebih lega jika kamu jujur menerima dan mengakui kesalahan-kesalahan kamu dan mau meminta maaf”, kata saya ketika menemukan sedikit jeda dalam kalimat-kalimatnya.

Masih tampak ketidakpuasan dalam wajahnya. Dan ia bercerita lagi, tentang bagaimana sewaktu ABG ia memiliki gejolak seksual dan menyalurkannya dengan salah. Ia mengintip teman-teman wanitanya di kamar mandi, bahkan mencuri pakaian dalam mereka, karena atas saran temannya ini merupakan sebuah cara yang lebih aman. Ia juga pernah melakukan pelecehan seksual kepada sesama laki-laki, bukan karena ia memiliki penyimpangan orientasi seksual, tetapi karena itu yang saat itu terlintas dalam pikirannya. Dan ia saat ini merasa sangat malu, apalagi jika membayangkan bertemu dengan orang-orang yang telah ia lecehkan, yang sekarang sudah sama-sama dewasa dan ada pula yang sudah menikah dan punya anak.

Shocking!!! Saya tidak mengira ia dapat begitu gamblang menceritakan tentang kepedihanya, tentang masa lalunya yang kelam, yang sangat ia sesali, yang menghantuinya. Membuat saya bercermin tentang kesalahan-kesalahan yang pernah saya perbuat, yang saya coba kubur dalam-dalam, muncul begitu saja. Saya sendiri jadi ikut sedih, pedih atas dosa-dosa saya sendiri. Tentang penyesalan saya, tentang tangis-tangis mohon ampun saya, janji-janji untuk memperbaiki diri yang sering gagal karena kurangnya komitmen!!! Ahhhh (looong sigh).

“Penyesalan tidak pernah tidak berguna kalau kemudian ada tekad untuk bangkit ketika kita jatuh, untuk keberapakalinyapun! Jangan menyerah! Terus berusaha perbarui tekad, walaupun kamu merasa telah gagal pada tekad yang sama, pasti lama-kelamaan kamu akan berubah lebih baik!”, kata saya lebih kepada diri sendiri.

Ia menangis. Dan menyatakan sudah berkali-kali datang ke rehabilitasi, pulang, dan datang lagi. Ia selalu gagal.

Saat itulah saya ingat Matahachi lagi… Ia gagal memenuhi tekad besarnya untuk menjadi seorang pemain pedang hebat. Ia gagal mewujudkan mimpinya karena tidak kuat menahankan dirinya terhadap godaan yang mengabaikan dirinya dari fokus. Hedonisme, kepahlawanan instan, kelemahan hati. Bersamaan dengan itu, saya ingat dimana tokoh Matahachi itu ada. Di buku Musashi!!! Karena Musashi adalah judul buku itu, maka karakter Musashi yang tercerahkan-lah yang seharusnya saya adopsi dalam buku kehidupan saya.

Untuk Yon, semoga kamu tidak menjadi Matahachi, mari kita menjadi Musashi yang tercerahkan…

Categories: Inside my Thought, On True
  1. March 29, 2009 at 10:14 AM

    saya baru baca 100 halaman pertama, ketika Takezo menjadi Musashi,,, hmmmmmmmmmmmmm…

    membaca kisah di atas, entah kenapa saya jadi merasa “pencerahan” itu begitu jauh, begitu entah,, rasanya sungguh hampa….

    ititut4rya says: Oooo sedang baca Musashi…akhirnya. Koq pesimis banget si Ti? Lighten up!!! Takezo (Musashi) juga pernah kan diusir sama orang sekampung, dikejar-kejar pasukan… Tapi setelah terkurung dalam menara gelap, ia mencerahkan dirinya, jadilah Musashi, bukan begitu… Jauh bukan berarti tidak terjangkau kan??? Kadang hati harus jadi hampa agar bisa diisi kan??? 🙂

  2. gdwgdw
    March 30, 2009 at 8:56 PM

    ah.. bukunya yg blum kebaca lebih banyak daripada saya..hehe seringkali hanya lapar mata.. masih ada 5 novel yang belum kebaca 😦

    kenapa ya penyesalan selalu datang belakangan? seringkali mendapati diri saya menangis tanpa ada sebab, hanya menyesali tindakan2 dulu.. hehe.. kadang tertawa, betapa bodohnya saya. lebih tertawa lagi karena hasil MMPI tidak valid dan cenderung menjelekkan diri sendiri. :p

    ititut4rya says: mending gdw cuman lapar mata, kalo saya sampe lapar hati, hehehehe… penyesalan emang selalu datang setelah kita sadar berbuat suatu kesalahan, tetapi tidak selalu terlambat koq, ya khan? Yakin MMPI-nya g valid? hehehehehe, kalo yakin tuntut tuh, yg bikin tes MMPI… (peace)…

  3. April 3, 2009 at 9:17 PM

    kayaknya kudu hunting ni di gramedia

    ititut4rya says: saya sendiri sudah lama tidak ke toko buku, ada yang saya incar…

  4. Martha, dr
    April 9, 2009 at 10:30 PM

    Semoga Yon dapat bersahabat dengan kehidupan…
    Memaafkan diri sendiri kemudian bangkit dan menjalani hidup baru yang lebih berwarna tentunya 🙂

    ititut4rya says: semoga. makasi doanya, Martha

  1. No trackbacks yet.

Leave a reply to Martha, dr Cancel reply